Diperbarui tanggal 10/08/2022

Bambu

kategori Flora dan Fauna / tanggal diterbitkan 10 Agustus 2022 / dikunjungi: 2.89rb kali

Klasifikasi dan Botanis Bambu

Klasifikasi bambu menurut Ohrnberger (2002) dalam bukunya yang berjudul The Bamboos of the World: Annotated Nomenclature and Literature of the Species and the Higher and Lower Taxa menyebutkan sebagai berikut:
Famili : Graminae
Subfamili : Bambusoideae
Suku : Bambusa, Olyreae, Parianeae, Buergersiochloeae, Puelieae dan Guaduelleae

Menurut Cronquist A. (1981) Famili Poaceae diklasifikasikan sebagai:
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Graminae

Bambu termasuk kedalam famili Gramineae, sub famili Bambusoidae dan suku Bambuseae. Bambu biasanya mempunyai batang yang berongga, akar yang kompleks, serta daun berbentuk pedang dan pelepah yang menonjol. Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang dan mempunyai daur buluh yang menonjol (Dransfield dan Widjaja, 1995).

Penyebaran dan Habitat Bambu

Menurut Berlian dan Rahayu (1995) tanaman bambu banyak ditemukan di daerah tropik di Benua Asia, Afrika dan Amerika. Namun, beberapa spesies ditemukan pula di Australia. Benua Asia merupakan daerah penyebaran bambu terbesar. Penyebarannya meliputi wilayah Indonesia, Burma, India, Cina, dan Jepang. Daerah Indo-Burma dianggap sebagai daerah asal tanaman ini. Selain di daerah tropik, bambu juga menyebar ke daerah subtropik dan daerah beriklim sedang di dataran rendah sampai di dataran tinggi.

Menurut Widjaja dan Karsono (2004) di wilayah Indonesia diperkirakan terdapat 157 jenis bambu. Jumlah jenis bambu tersebut kira-kira 10% dari jenis bambu di dunia. Jenis bambu di dunia diperkirakan terdiri dari 1.250-1.350 jenis. Diantara jenis bambu yang terdapat di Indonesia, 50% diantaranya merupakan bambu endemik, lebih dari 50% merupakan jenis bambu yang telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pertumbuhan setiap tanaman tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungannya. Dengan demikian perlu diperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan syarat tumbuh tanaman bambu. Lingkungan yang sesuai dengan tanaman bambu adalah yang bersuhu sekitar 8,8 - 36 o C. Bambu dapat tumbuh pada tanah yang bereaksi masam dengan pH 3,5 dan umumnya menghendaki tanah yang pH nya 5,0 sampai 6,5. Tanaman bambu tumbuh di berbagai tipe iklim, mulai dari tipe curah hujan A, B, C, D sampai E (Schmidt dan Fergusson) atau dari iklim basah sampai kering. Semakin basah tipe iklimnya makin banyak jenis bambu yang dapat tumbuh dengan baik, karena untuk pertumbuhannya bambu membutuhkan banyak air. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum 1.020 mm per tahun. Kelembapan udara yang dikehendaki minimum 80%. Bambu dapat tumbuh di berbagai kondisi tanah, mulai dari tanah berat sampai tanah ringan, tanah kering sampai tanah becek dan dari tanah subur sampai tanah tandus. Beberapa jenis tanah yang terdapat di pusat bambu di Indonesia adalah jenis tanah campuran antara Latosol Coklat dengan Regosol Kelabu serta Andosol Coklat Kekuningan. Perbedaan jenis tanah sangat berpengaruh terhadap kemunculan rebung bambu.

Manfaat Bambu

Bambu merupakan jenis tanaman yang kaya manfaat. Tanaman bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar, batang, daun, hingga rebungnya. Manfaat bambu tersebut antara lain:

  1. akar bambu dapat digunakan sebagai penahan erosi dan menyaring air yang terkena limbah beracun akibat keracunan merkuri melalui serabut-serabut akarnya.
  2. batang bambu merupakan bagian yang paling banyak digunakan untuk dibuat berbagai macam keperluan mulai dari sebagai bahan bangunan, bahan kerajinan dan bahan pembuatan perkakas rumah tangga.
  3. daun bambu dapat digunakan sebagai alat pembungkus, misalnya makanan kecil seperti uli dan wajik, selain itu didalam pengobatan tradisional daun bambu dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam panas pada anak-anak. Hal ini disebabkan karena daun bambu mengandung zat yang bersifat mendinginkan.

Bambu selain bisa sebagai obat tradisional, juga dapat digunakan sebagai tanaman hias mulai dari jenis bambu kecil hingga jenis bambu besar yang banyak ditanam sebagai tanaman pagar di pekarangan. Rebung ada yang berbentuk ramping sampai agak membulat mencapai tinggi hingga 30 cm. Rebung bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayuran segar yang dikemas dan diawetkan sebagai sayuran kaleng. Rebung bambu dalam kaleng merupakan salah satu komoditas ekspor yang diminati masyarakat di Jepang, Korea dan Cina. Penampilan tanaman bambu yang unik dan menawan sehingga bambu banyak ditanam sebagai elemen taman yang bergaya Jepang (Berlian dan Rahayu, 1995).

Deskripsi Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae)

Menurut Berlian dan Rahayu (1995) klasifikasi bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea)
Divisio : Spermatophyta
Subdiviso : Angiospermae
Kelas : Monokotiledoneae
Ordo : Graminales
Famili : Gramineae
Subfamili : Bambusoideae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa atroviolacea

Bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae) memiliki nama daerah pring wulung (Jawa). Bambu ini disebut bambu hitam karena warna batangnya hijau kehitam-hitaman dengan ujung jingga. Rumpun bambu hitam agak panjang. Pertumbuhan bambu agak lambat, buluhnya tegak dengan tinggi 15 m. Panjang ruas-ruasnya 40-50 cm, tebal dinding buluhnya 8 mm dan garis tengah buluhnya 6-8 cm. Menurut Widjaja (2001) Sistem percabangan bambu ini yaitu memiliki banyak cabang dengan satu cabang lebih besar. Cabang berwarna hijau kehitaman. Helaian daun berwarna hijau dengan panjang 24-29 cm dan lebar 3,2-4 cm, memiliki bulu kejur dengan panjang 0,1 cm. Menurut (Widjaja dan Karsono, 2004) pelepah batang bambu ini selalu miang yang melekat berwarna cokelat tua. Pelepah ini mudah gugur serta kuping pelepah berbentuk bulat dan berukuran kecil. Menurut Saefudin dan Rostiwati (2010) pemanfaatan bambu hitam oleh masyarakat Indonesia termasuk tinggi karena dianggap memiliki fungsi serbaguna, mudah diperoleh dan dengan harga yang terjangkau. Komoditi bambu ini juga banyak dilirik oleh eksportir, terutama dalam bentuk barang kerajinan, cenderamata, asesoris dan perangkat rumah dari bambu.

bambu hitambatang bambu hitam

Gambar. Bambu hitam

Deskripsi Bambu Hijau (Bambusa tuldoides)

Menurut Berlian dan Rahayu (1995) klasifikasi bambu hijau (Bambusa tuldoides)
Divisio : Spermatophyta
Subdiviso : Angiospermae
Kelas : Monokotiledoneae
Ordo : Graminales
Famili : Gramineae
Subfamili : Bambusoideae
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa tuldoides

Menurut Sukawi (2010) bambu hijau (Bambusa tuldoides) ini berumpun simpodial, padat dan tegak. Rebung hijau tertutup bulu coklat hingga hitam. Buluh tingginya mencapai 5 m dengan ruas yang menggembung dan sering menjadi lurus, tumbuhnya tegak. Percabangan terdapat di permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya. Buluh muda gundul dan berwarna hijau, ruas panjangnya 5-10 cm, menggembung atau lurus, berdiameter 2-3 cm, tebal dindingnya mencapai 15 mm. pelepah buluhnya gundul, mudah luruh, kuping pelepah buluhnya membulat, tingginya 1-2 mm dengan bulu kejur panjangnya 3-5 mm, ligula mengutuh, gundul, daun pelepah daun tegak. Daun 10-15 x 2-2,5 cm, gundul, kuping pelepah buluh kecil dengan bulu kejur, ligula rata, gundul. Pemanfaatan bambu hijau oleh masyarakat Indonesia sering digunakan untuk tanaman hias dan lain-lain.

Bambu hijaurebung bambu hijau
Gambar. Bambu Hijau

Sifat-Sifat Dasar Bambu

1. Sifat Fisis

1.1 Kadar Air

Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam suatu benda yang dinyatakan dalam persen berat kering ovennya. Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air bambu bervariasi dalam suatu batang dipengaruhi oleh umur, musim pemanenan bambu dan jenis bambu. Menurut Dransfield dan Widjaya (1995) kadar air batang bambu yang segar berkisar 50-99% dan pada bambu muda 80-150% sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah keatas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Bagian ruas menunjukkan nilai kandungan air yang lebih rendah dibandingkan bagian antar ruas. Perbedaannya dapat mencapai kadar air 25% dan lebih tinggi pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung. Kandungan air bambu lebih tinggi pada bagian dalam dibandingkan bagian luar pada arah melintang batang (Liese, 1986). Kadar air bambu ditentukan oleh berat air yang terkandung dalam batang.

1.2 Berat Jenis

Menurut Nuriyatin (2000) perbedaan komposisi kimia jenis bambu dapat menyebabkan perbedaan berat jenis meskipun secara umum setiap jenis bambu memiliki komposisi kimia yang hampir sama. Perbedaan BJ pada berbagai posisi bambu secara alami disebabkan karena perbedaan kecepatan pertumbuhan antara bagian pangkal, tengah dan ujung. BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selain itu, BJ bambu bervariasi dari 0.5–0.8, dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya.

1.3. Kembang

Susut Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) bambu langsung menyusut setelah dipanen tidak seperti kayu dan tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu. Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial dari pada arah tangensialnya (sekitar 7% berbanding 6%), tetapi perbedaan penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0.5%.

2 Sifat Mekanis

2.1 Modulus of Elasticity (MOE)

Menurut Bowyer et al. (2003) Modulus of Elasticity (MOE) dinyatakan sebagai suatu besaran yang menunjukkan sifat kekakuan bahan atau material. Sifat kekakuan tersebut merupakan ukuran kemampuan suatu benda untuk menahan perubahan bentuk atau lenturan yang terjadi akibat pembebanan dan hanya berlaku sampi batas proporsi. Nilai MOE menunjukkan keelastisan suatu bahan, semakin tinggi nilai MOE maka akan semakin kaku bahan tersebut, sebaliknya semakin rendah nilai MOE maka akan semakin elastis bahan tersebut. Nilai MOE batang bambu yang telah dikeringkan berkisar antara 17.000 – 20.000 N/mm2 sedangkan pada batang yang masih segar 9000 – 10.100 N/mm2 (Dransfield dan Widjaja, 1995).

2.2 Modulus of Rupture (MOR)

Menurut Dewanto (2015) Modulus of Rupture (MOR) atau keteguhan patah ditentukan dari beban maksimum yang dapat diangkat atau disangga oleh suatu bahan persatuan luas sampai material tersebut patah. MOR merupakan batas maksimum suatu bahan menahan beban hingga bahan tersebut mengalami perubahan bentuk/kerusakan (Agustina, 2015). Nilai MOR bambu tanpa buku
berkisar antara 79 – 94 N/mm2 dan 82 – 120 N/mm2 pada bambu dengan buku (Dransfield dan Widjaja, 1995).

2.3 Kekuatan Tekan Sejajar Serat

Menurut Haris (2008) kekuatan tekan merupakan kemampuan suatu bahan dalam menahan gaya vertikal yang bekerja sampai terjadinya kerusakan pada bahan tersebut. Sedangkan Mardikanto (1979) dalam Samputra (2004) menyatakan bahwa, keteguhan tekan merupakan kemampuan sampel untuk menahan beban yang diberikan padanya secara perlahan-lahan yang semakin lama semakin membesar sampai terjadi kerusakan. Besarnya keteguhan ini sama dengan besarnya beban maksimum dibagi dengan luas penampang dimana beban tersebut bekerja.

2.4 Kekuatan Tarik Sejajar Serat

Bambu memiliki kekuatan tarik sejajar serat tinggi karena dipengaruhi oleh struktur serat dan vaskularnya (Haris, 2008). Kekuatan tarik adalah kemampuan suatu material menahan beban aksial tarik. Dalam kasus material seperti kayu dan bambu. Kekuatan tarik sejajar serat bambu relatif tinggi dan dapat mencapai 370 Mpa (Wonlele et al., 2013).