Diperbarui tanggal 26/05/2021

Landasan Filosofis Pendidikan Kejuruan

Tinjauan Teoritis dan Empirik Pendidikan Kejuruan

author/editor: Edi Elisa / kategori Pendidikan Kejuruan / tanggal diterbitkan 26 Mei 2021 / dikunjungi: 8.57rb kali

Apa perlunya filsafat dalam pengembangan pendidikan kejuruan menjadi pertanyaan mendasar dan menarik untuk dibahas dan diurai secara rinci. Mengutip pernyataan Dewey bahwa tugas philosopher adalah memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Karenanya filsafat sangat penting dalam setiap proses pengembangan pendidikan agar sadar arah, benar, dan sesuai kebutuhan. Filsafat pendidikan kejuruan menunjukkan garis arahan kemana pendidikan kejuruan akan digerakkan atau dirancangprogramkan.

Pendidikan kejuruan sebagai pendidikan untuk bekerja (education-for-work) didasarkan atas philosophy esensialisme, eksistensialisme, dan pragmatisme. Strom mengutip pernyataan Miller (1994) bahwa pragmatisme merupakan philosophy yang paling efektif untuk education-for-work. Karena philosophy pragmatisme menyeimbangkan philosophy esensialisme dan eksistensialisme. Disamping itu philosophy lainnya yang mendasari pendidikan kejuruan adalah philosophy humanisme dalam kaitannya dengan personal growth dan philosophy progressive dalam kaitannya dengan reformasi sosial.

Philosophy esensialisme merupakan akar dari idealisme dan realisme. Esensialisme bertujuan mendidik manusia bernilai guna, bermakna bagi kehidupan, dan kompeten. Esensialisme menekankan peran dan fungsi pendidik atau pelatih dalam proses pembelajaran, ahli, dan menguasai subyek materi, mengembangkan skill dengan berlatih, pengulangan, pengkondisian, dan pengembangan kebiasaan baik dalam mempengaruhi perilaku peserta didik. Pembelajaran peserta didik dilakukan secara progresif dari skill yang kurang komplek ke skill yang lebih komplek. Esensialis biasanya mengajarkan subyek materi membaca, menulis, mengkaji literatur, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan musik.

Plato sebagai tokoh esensialis menyatakan bahwa dunia jasmani senantiasa berubah sedangkan dunia akali abadi tidak berubah. Tujuan philosophy baginya adalah untuk memperoleh pengetahuan sejati. Manusia sering membuat pernyataan “ini kepala saya, ini otak saya, ini mata saya, ini hidung saya, ini telinga saya, ini mulut saya, ini tangan saya, ini kaki saya, ini badan saya, dan seterusnya”. Lalu “saya ini siapa?”. Saya bukan kepala, bukan otak, bukan mata, bukan hidung, bukan telinga, bukan mulut, bukan tangan, bukan kaki. Saya adalah sang Roh esensi dari manusia.

Philosophy eksistensialisme menyatakan setiap individu manusia membentuk makna kehidupannya sendiri-sendiri. Memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri. Realitas kehidupan bersifat subjektif. Manusia selalu akan menemukan dirinya dalam dunia, kontek utamanya adalah kesadaran diri siapakah aku. Soren Kierkegaard menulis alam manusia dan identitas manusia berbeda bergantung pada tata nilai dan keyakinan yang mereka pegang/anut. Tugas paling berat bagi setiap orang menurutnya adalah menjadikan dirinya eksis sebagai individu yang unik bermakna (personal growth). Jean Paul Sartre meyakini individu menciptakan hakikat dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan secara bebas. Profesi dengan segala tindakan dan akibatnya adalah pilihan. Karenanya dalam philosophy jawa perlu tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup).

Struktur ciptaan manusia semacam lembaga-lembaga dapat secara serius membatasi dan melemahkan kebebasan manusia. Simone de Beauvoir memberi sintesis akibat buruk cara pendidikan kaum perempuan mengakibatkan tersingkirnya kaum perempuan secara sistematis dalam perannya sebagai yang lain dari kaum laki-laki. Kemudian Friedrich Neitzsche dengan prinsip fundamentalnya menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power). Menurutnya, ada dua jenis nilai dalam kehidupan manusia yaitu nilai yang diciptakan oleh golongan lemah (“moralitas budak”) dengan menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan semacam belas kasih, cinta altruism, kelemahlembutan, serta nilai golongan kuat (“moralitas tuan”) dengan keutamaan semacam kekuatan dan keberanian.

Pragmatisme atau eksperimentalisme merupakan gerakan philosophy Amerika yang menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what is” harus dieliminir dengan “what for”. Pragmatisme merupakan philosophy bertindak, mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya dalam hidup manusia. Kaitannya dengan dunia pendidikan kejuruan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian persoalan teoritis dan praktis. Pengembangan teori memberi bekal etik dan norma- tif, sedangkan praktik mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi teori dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan material- isme terselubung ketika terlalu menekankan pada hal praktis. Juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan dapat dikatakan disfungsi.

John Dewey sebagai tokoh pragmatis dan progressive menyatakan hidup ini tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui pendidikan. Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam philosophy instru- mentalisme. Philosophy instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalam- an-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu.

Dalam pandangan yang berbeda John Dewey meyakini bahwa tujuan dasar pendidikan adalah untuk mempertemukan kebutuhan individu untuk pemenuhan pribadinya dan persiapan menjalani hidup. Siswa pendidikan kejuruan diajari bagaimana memecahkan masalah secara berbeda-beda sesuai kondisi individu masing-masing. Dewey menolak gambaran siswa sebagai individu yang pasif, dikendalikan oleh tekanan ekonomi pasar dan eksistensinya dibatasi dalam mengembangkan kapasitas intelektualnya. Dewey memandang siswa adalah aktif memburu dan mengkonstruksi pengetahuan. Pemikiran Dewey secara filosofi dikenal sebagai pragmatisme yang dalam tahun-tahun terakhir diidentifikasi sebagai filosofi pendidikan kejuruan yang paling utama Pendidikan pragmatis mencoba menyiapkan siswa dapat memecahkan masalah-masalah nyata secara logis dan rasional, terbuka mencari dan menemukan alternatif- alternatif solusi serta siap melakukan eksperimen. Outcome yang diharapkan dari pendidikan pragmatis adalah masyarakat berpe- ngetahuan yang secara vokasional mampu beradaptasi, mampu mencukupi dirinya sendiri, berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi, dan berpandangan bahwa belajar dan beraksi adalah proses yang panjang.

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan kejuruan dan vokasi, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Seperti yang sudah dipraktikkan di dunia pendidikan kejuruan 60% praktik dan 40% teori atau nanti bisa sebaliknya karena industri sekarang sudah berbasis pengetahuan. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi antara teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan kejuruan dan vokasi tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan kejuruan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, agar tidak dikatakan disfungsi dan tidak memiliki konsekuansi praktis.

Pragmatisme sebagaimana definisi Miller, menyeimbangkan kedua filosofi esensilisme dan eksistensialisme dan memberi ruang ide baru yang praktis. Pragmatisme tanggap terhadap perkembangan inovasi-inovasi program seperti tech-prep yang menyediakan pendidikan kejuruan bertemu dengan kebutuhan tuntutan tempat kerja. Praktisi pendidikan untuk dunia kerja (education-for-work) dapat menerapkan filosofi pragmatisme atau dipadukan dengan filosofi esensialisme dan eksistensialisme untuk merefleksikan kegiatan dalam membentuk atau mengadopsi visi lembaganya.

Humanisme adalah philosophy yang menegaskan harkat dan martabat manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk menentukan benar salah secara universal. Humanisme mendo- rong moralitas universal berdasarkan komunalitas kondisi manusia, menganjurkan solusi sosial kemasyarakatan dan masalah-masalah budaya secara konprehensip. Manusia sebagai mahluk hidup lebih penting nilainya dari mahluk hidup lainnya. Kecerdasan spiritual sangat besar pengaruhnya kepada kesuksesan hidup penuh makna bagi seseorang. Swami Prabhupada menyatakan ada empat hal yang selalu membuat manusia sibuk. Kesibukan tersebut berhubungan dengan masalah: (1) eating, (2) sleping, (3) mating, dan (4) depending. Disisi lain binatang juga melakukan keempat hal ini. Lalu Prabhupada mempersoalkan apa bedanya manusia dengan binatang?. Prabhupada menyatakan tanpa prinsip-prinsip kecerdasan spiritual manusia adalah binatang berkaki dua berjalan paling tegak, paling buas melebihi harimau dan singa.

Secara pragmatis pendidikan kejuruan lahir dari kebutuhan nyata sistim ekonomi, melayani sistim ekonomi karena diturun- kan dari kebutuhan pasar kerja. Pendidikan kejuruan terkait langsung dengan sistim pendidikan dan bursa tenaga kerja. Ada hubungan yang sangat erat diantara masyarakat disatu sisi dengan sekolah dan pasar kerja disisi lain. Pendidikan kejuruan lebih memerlukan kebijakan antar departemen secara sinergis. Thompson menyarankan perlunya kebijakan sumberdaya manu- sia dalam pengembangan dan pemanfaatan tenaga kerja sebagai sumberdaya ekonomi individu maupun keluarga. Tujuan ditetap- kannya kebijakan sumber daya manusia adalah agar peluang- peluang kerja bagi semua yang membutuhkan menjadi seimbang, bebas memilih jenis-jenis okupasi atau pekerjaan dan menjamin pendapatan masyarakat. Pendidikan kejuruan menjamin proyeksi perkembangan potensi setiap individu sesuainya “men and jobs” dengan kerugian income dan produksi yang minimal.

Prinsip dasar pendidikan kejuruan adalah manusia dilatih untuk keperluan okupasi, jabatan, pekerjaan yang diperlukan masyara- kat. Pendidikan kejuruan menekankan “learning by doing” dan “hans-on experience”. Kerjasama pihak penyelenggara pendidikan kejuruan dengan DU-DI mutlak diperlukan baik berkaitan dengan pengembangan standar-standar kompetensi, pelatihan kompeten- si produktif, sertifikasi dan juga rencana penyerapan lulusan. Efektivitas pendidikan kejuruan diukur dari jumlah lulusan yang terserap dan bekerja di DU-DI atau berwirausaha.

Pada dimensi sosial pendidikan kejuruan secara formal menyiapkan generasi muda memenuhi kebutuhan dunia kerja. Perbaikan dan pengaturan keseimbangan diantara kebutuhan individu, masyarakat, kebutuhan sosial, dan pengaturan kurikulum dalam pendidikan kejuruan akan menjadi masalah bagi pendidik. Sistim dan kurikulum pendidikan kejuruan harus memberikan jaminan kebebasan bagi setiap individu dan gender untuk berkarier. Bukan sebuah sistim pencipta kuli atau tukang atau mesin-mesin pemuas ekonomi yang bertentangan dengan prinsip esensialisme dan eksistensialisme.

Pendidikan kejuruan bukan pendidikan kelas dua secara struktural untuk kalangan menengah ke bawah, tetapi pendi- dikan kejuruan adalah pendidikan dengan jalur tersendiri. Pendidikan kejuruan akan efisien jika menjamin ketersediaan tenaga kerja secara memadai (Thompson). Karenanya, prinsip dasar pendidikan kejuruan harus melatih masyarakat menguasai kompetensi pekerjaan-pekerjaan atau jabatan-jabatan yang diperlukan oleh masyarakat sebagai demand. Pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia bukan merampasnya.