Diperbarui tanggal 31/05/2021

Landasan Empiris Pendidikan Kejuruan

Tinjauan Teoritis dan Empirik Pendidikan Kejuruan

author/editor: Edi Elisa / kategori Pendidikan Kejuruan / tanggal diterbitkan 26 Mei 2021 / dikunjungi: 2.18rb kali

Dunia usaha/industri mengetahui bahwa lulusan SMA lebih mudah dan lebih cepat menyerap hasil pelatihan peningkatan kompetensi yang dibutuhkan dunia usaha/industri daripada lulusan SMK. Pernyataan ini mendukung hasil penelitian Satrio Soemantri Brojonegoro (2015) terhadap 460 perusahaan tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, dengan beragam bidang usaha dan beragam ukuran yang menemukan bahwa: (1) separuh populasi lulusan SMK tidak memperoleh pekerjaan formal, artinya terjadi ketidaksesuaian antara keahlian yang dipela- jari di SMK dan harapan serta kebutuhan perusahaan; dan (2) dunia usaha/industri lebih memilih lulusan sekolah menengah atas (SMA) dari pada lulusan SMK. Perusahaan lebih memilih mereka yang siap latih karena dinamika pekerjaan yang demikian cepat dalam era persaingan global sehingga diperlukan calon pekerja yang adaptif mampu mengikuti perkembangan.

Pembaruan kurikulum harus memuat tiga hal esensial yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, yaitu: (1) penguatan mata pelajaran pokok (Matematika, sains, bahasa); (2) peningkatan kecerdasan kognitif (berpikir kritis, daya analisis); dan (3) peningkatan kecakapan sosial (komunikasi, kepemimpinan dan organisasi, penyelesaian masalah, kerja kelompok). Pendidikan vokasi punya nilai ekonomi yang tinggi bila lulusannya terserap di dunia usaha/industri.

Link and match di SMK belum berjalan secara efektif seperti yang dinyatakan Slamet PH (2013:16) bahwa keselarasan antara dunia SMK dan dunia usaha/industry dalam dimensi kuantitas, kualitas, lokasi, dan waktu, belum terorganisasi secara formal. Meskipun telah diterbikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, tetapi wadah formal yang men jembatani dunia SMK dan dunia usaha/industri belum ada. Di masa lalu (1994) ada wadah yang menjembatani dunia SMK dan dunia kerja yaitu Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN). MPKN dibentuk melalui Surat Keputusan Bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tentang pembentukan Majelis Pendidikan Kejuruan dengan Nomor 0217/U/1994 dan 044/ SKEP/KU/VIII/94, tetapi sekarang Lembaga ini tidak aktif. Padahal Surat Keputusan Bersama tersebut juga belum dicabut.

Sampai saat ini belum ada dasar hukum yang mengikat agar dunia usaha/industri berkewajiban bekerja sama dengan dunia pendidikan. Dunia pendidikan harus bekerja sama secara sinerjis dengan dunia usaha/industri agar kompetensi lulusan pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan kompetensi di dunia usaha/industri. Dunia usaha/industri bersedia menyiapkan tempat Praktik Kerja Industri (Prakerin)/magang bagi peserta didik/guru vokasi, membimbing dan mendampingi peserta didik membuat rencana bisnis dan menerapkan rencana tersebut sampai berhasil atau menjadi pembimbing dan pendamping inkubator bisnis agar lulusan dapat menjadi wirausahawan sukses, dan menyerap lulusan pendidikan vokasi. “Dunia industri/usaha kian bertaut, dari dulu sampai sekarang hanya wacana” (Kompas, 19 Desember 2016: 6). Harapannya, ada dasar hukum yang mewajibkan dunia usaha/industri wajib bekerja sama dengan SMK disertai sanksi yang tegas. Membentuk badan Musyawarah Pendidikan Kejuruan (MPK) yang beranggotakan orang-orang yang relevan, profesional, dan berkomitmen tinggi.

Masalahnya adalah bagaimana bila terjadi krisis moneter dan dunia usaha/industri banyak yang bangkrut sehingga terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dapat menyebabkan bertambahnya pengangguran lulusan SMK. Bagaimana bangsa Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain bila rakyatnya terus-menerus dididik menjadi bangsa tukang? Jika pola pikir pemerintah masih cenderung konservatif dalam upaya pengembangan SMK, sukar diharapkan bangsa Indonesia akan berubah secara signifikan dalam mencapai cita-cita untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Oleh sebab itu, sudah waktunya SMK di Indonesia tidak lagi terus-menerus menjadi pencari kerja di dunia usaha/industri, tetapi mampu menciptakan lapangan kerja yang menggerakkan arah industri.

Pendidikan vokasi di SMK kekurangan guru produktif sehingga banyak guru SMK yang mengajar yang tidak sesuai bidang keahlian. Akibatnya, proses dan hasil belajar siswa belum bermutu. LPTK belum mampu memenuhi permintaan SMK untuk mendidik guru-guru produktif yang berkualitas. Harapannya, perlu ada alih fungsi guru normative menjadi guru produktif. Secara umum guru SMK produktif belum memiliki sertifikat kompetensi dari lembaga yang berwenang (BNSP) (Kompas, 14 Desember 2016: 11). Untuk mengantisipasi tuntutan dunia kerja dan stakeholders terhadap pentingnya guru produktif SMK memiliki sertifikat kompetensi, Kualitas pembelajaran di kelas tidak hanya tergantung kualitas guru tetapi juga kualitas kepala dan pengawas sekolah (Kompas, 2011: 15, Anonim, 2012, dan Hoy & Miskel, 2013). Harapannya, semua guru produktif memiliki sertifikasi keahlian sesuai bidang keahlian masing-masing.